TUGAS
KELOMPOK
MATA
KULIAH ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS, BAYI, BALITA, APRAS
DOSEN:
IBU NURLAILIS SA’ADAH, M. Kes.
KELAINAN PADA NOENATUS
CEPHAL HEMATOMA, FRAKTURE HUMERUS,
FRAKTUR CLAVICULA, TRAUMA PLEKSUS BRAKIALIS
Di susunOleh :
ARTINTA
SUN SERVANDA
ARUM
RISKY SETYAWATI
DHONA
AYU GUMILAR
FACHRUNNISA
NUR BADIYANTI
MAGHFIROH
RAHMAWATI
NIHLA
HANIF
SEPTIANA
WIN SAPUTRI
URFINA
MAZAYA HUSNA
REGULER
TK II
KEMENTERIAN
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK
KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN
KEBIDANAN
PRODI
DIII KEBIDANANKAMPUS MAGETAN
MAGETAN
2012
CEPHAL HEMATOMA
A.
PENGERTIAN
Cephal
hematoma adalah perdarahan sub periosteal akibat kerusakan jaringan poriestum
karena tarikan atau tekanan jalan lahir. Dan tidak pernah melampaui batas
sutura garis tengah. Tulang tengkorak yang sering terkena adalah tulang
temporal atau parietal ditemukan pada 0,5-2 % dari kelahiran hidup. (Menurut
P.Sarwono.2002. Pelayanan Kesehatan Matemal dan Neonatal ; Bagus Ida Gede
Manuaba. 1998; Prawiraharjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan)
B.
ETIOLOGI
Cephal hematoma dapat terjadi karena :
1. Persalinan
lama
Persalinan yang lama dan sukar,
dapat menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis ibu terhadap tulang kepala bayi,
yang menyebabkan robeknya pembuluh darah.
2. Tarikan
vakum atau cunam
Persalinan yang dibantu dengan
vacum atau cunam yang kuat dapat menyebabakan penumpukan darah akibat robeknya
pembuluh darah yang melintasi tulang kepala ke jaringan periosteum.
3. Kelahiran
sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi
(Prawiraharjo, Sarwono. 2002. Ilmu
Kebidanan)
Kejadian
hematoma sefal kadang-kadang berhubungan dengan kejadian trauma lahir lainnya
di daerah kepala seperti fraktur tulang tengkorak. Sekitar 5-15% hematoma sefal
mempunyai hubungan dengan fraktur linier sederhana pada tulang tengkorak.
Fraktur linier sederhana ini biasanya tidak memerlukan tindakan khusus jika
tidak ditemukan komplikasi neurologik lainnya. Untuk mengetahui apakah hematoma
sefal mempunyai hubungan dengan fraktur linier, perlu dipelajari riwayat
kelahiran bayi. Jika pada kelahiran bayi dicurigai kemungkinan terjadinya fraktur,
maka perlu dilakukan pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan radiologik pada hematoma
sefal hanya dilakukan jika ditemukan adanya gejala susunan saraf pusat atau
pada hematoma sefal yang terlalu besar disertai dengan adanya riwayat kelahiran
kepala yang sukar dengan atau tanpa tarikan cunam yang sulit ataupun kurang
sempurna.
C.
PATOFISIOLOGI
Cephal
hematoma terjadi akibat robeknya pembuluh darah yang melintasi tulang kepala ke
jaringan periosteum. Robeknya pembuluh darah ini dapat terjadi pada persalinan
yang sukar dan lama yang menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis ibu terhadap
tulang kepala bayi. (Markum,A.H.1991)
D.
PENATALAKSANAAN
Cephal
hematoma umumnya tidak memerlukan perawatan khusus. Biasanya akan mengalami
resolusi khusus sendiri dalam 2-8 minggu tergantung dari besar kecilnya
benjolan. Namun apabila dicurigai adanya fraktur, kelainan ini akan agak lama
menghilang (1-3 bulan) dibutuhkan penatalaksanaan khusus antara lain :
1.
Menjaga kebersihan luka
2.
Tidak boleh melakukan massase
luka/benjolan Cephal hematoma
Tindakan
masase benjolan hematoma sefal seaiknya tidak dilakukan, karena tekanan pada
benjolan yang masih baru akan diteruskan ke segala arah dan dikhawatirkan akan
mengakibatkan makin meluasnya robekan lapisan periost
3.
Pemberian vitamin K
(Markum,A.H.1991)
E.
KOMPLIKASI
1. Hiperbilirubinemia
Fototerapi diperlukan untuk pengobatan
hiperbilirubinemia (Behrman,Richard E.609)
2. Kehilangan
banyak darah
Kadang-kadang cephalhematoma masih
dapat mengakibatkan kehilangan darah cukup banyak sehingga memerlukan tranfusi
atau mungkin disertai patah tulang tengkorak yang disertai dengan terjadinya
perdarahan intrakranial. (Behrman,Richard E.609)
3. Infeksi
Jika
ditemukan luka kecil di permukaan benjolan hematoma sefal akibat suatu tindakan
pada waktu melahirkan bayi, harus dijaga agar luka tetap kering dan bersih,
karena adanya timbunan darah dalam benjolan di bawah luka tersebut dapat
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri. Begitu pula tindakan pungsi
hematoma sefal yang bertujuan untuk mengeluarkan timbunan darah, walaupun
benjolan dapat mengecil, tetapi luka pungsi dapat merupakan pintu gerbang
masuknya bakteri.. Pemberian vitamin K dapat dianjurkan pada trauma lahir ini.
(Markum,A.H.1991)
4.
Cacat sisa menyerupai kista
Beberapa cephal
hematoma tetap sebagai tonjolan tulang selama bertahun-tahun dan dapat
ditemukan melalui pemeriksaan radiologis sebagai pelebaran ruang diploe; cacat
yang menyerupai kista dapat bertahan selama bertahun-tahun. (Behrman,Richard
E.609)
ASUHAN KEBIDANAN PADA NEONATUS DENGAN
CEPHAL HEMATOMA
A.
DATA PENGKAJIAN
1. Data
Subyektif
1.1
Biodata
Identitas pasien dan keluarga
1.2
Keluhan Utama
Ibu mengatakan telah melahirkan 6
jam yang lalu dan khawatir dengan keadaan bayinya karena terdapat benjolan di
kepala bayinya.
1.3
Riwayat Persalinan
a. Persalinan
ke : 1
b. Tempat
dan penolong persalinan : Klinik dan Bidan
c. Masalah
saat persalinan : persalinan macet
d. Cara
persalinan : dengan tindakan vacum ekstraksi
e. Keadaan
bayi saat lahir : Hidup, segera menangis, BB 2700 gr, PB 49 cm.
1.4
Pola Kebutuhan Biologis
a. Nutrisi
Jenis yang dikonsumsi : ASI
Frekuensi : Sesering mungkin
Banyaknya : Sampai kenyang
Jenis yang dikonsumsi : ASI
Frekuensi : Sesering mungkin
Banyaknya : Sampai kenyang
b. Eliminasi
BAB : Belum
BAK : 1 kali, warna kuning jernih dengan bau khas
BAB : Belum
BAK : 1 kali, warna kuning jernih dengan bau khas
c. Personal
hygine
Frekuensi mandi : Belum
Frekuensi ganti pakaian : Sesuai dengan kebutuhan
Frekuensi mandi : Belum
Frekuensi ganti pakaian : Sesuai dengan kebutuhan
1.5
Data Psikososial dan Spiritual
a. Tanggapan
ibu dan keluarga terhadap kelahiran bayi : Senang
b. Tanggapan
ibu dan keluarga terhadap keadaan bayi : Khawatir
c. Pengambil
keputusan dalam keluarga : Suami
d. Pengetahuan
keluarga tentang perawatan bayi : Bidan
2. Data
Obyektif
2.1 Pemeriksaan
Umum
a. Keadaan
umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tanda vital : Jantung 128 x/menit, Respirasi
45x/menit, suhu 37°C
d. Apgar skor : 8
2.2 Pemeriksaan
antropometri
a. BB
: 2700 gr
b. PB
: 49 cm
c. Lingkar kepala
Circum ferentia suboccipito bregmatika : 33 cm
Circum ferentia fronto occipitalis : 34 cm
Circum ferentia mento occipitalis : 35 cm
Circum ferentia fronto occipitalis : 34 cm
Circum ferentia mento occipitalis : 35 cm
d. Lingkar
dada : 34 cm
e. LILA
: 11 cm
2.3 Pemeriksaan
khusus
Kepala
|
:
|
Ubun-ubun datar,
sutura terpisah, ada benjolan lunak
|
Mata
|
:
|
Tidak tampak
pembengkakan kelopak mata, tidak ada pengeluaran cairan, sklera tidak
ikterik.
|
Telinga
|
:
|
Simetris, tidak ada
pengeluaran cairan.
|
Hidung
|
:
|
Simetris, tidak ada
polip, tidak ada pergerakan cuping hidung
|
Mulut
|
:
|
Bibir simetris dan
berwarna merah
|
Dada/mamae
|
:
|
Simetris saat inspirasi
dan ekspirasi, tidak ada retraksi dada dan terdapat areola pada mammae.
|
Perut
|
:
|
Tidak ada benjolan,
tidak ada tanda-tanda infeksi pada tali pusat.
|
Tungkai
|
:
|
Simetris, lengkap,
gerakan aktif, warna kulit kemerahan, tidak ada fraktur
|
Genetalia
|
:
|
Testis sudah turun ke
skrotum.
|
Anus
|
:
|
Berlubang
|
2.4 Pemeriksaan
refleks primitif
a. Reflek moro : +
b. Reflek rooting : +
c. Reflek grasphink : +
d. Reflek sucking : +
e. Reflek tavick neck : -
f. Reflek baby sky : -
a. Reflek moro : +
b. Reflek rooting : +
c. Reflek grasphink : +
d. Reflek sucking : +
e. Reflek tavick neck : -
f. Reflek baby sky : -
2.5 Pemeriksaan
perkembangan bayi
a. Kemampuan bahasa bayi : Menangis
b. Kemampuan motarik halus : -
c. Kemampuan motarik kasar : -
d. Adaptasi sosial : -
a. Kemampuan bahasa bayi : Menangis
b. Kemampuan motarik halus : -
c. Kemampuan motarik kasar : -
d. Adaptasi sosial : -
2.6 Pemeriksaan
penunjang : Tidak dilakukan
B. ASSESMENT
a. Diagnasa
kebidanan : Bayi lahir normal, tindakan vacum ekstraksi belakang kepala dengan
Cephalhematoma
b. Masalah
: Kecemasan orang tua bayi
c. Kebutuhan
: Konseling tentang perawatan bayi dengan cephalhematoma
C. PLANNING
1. Ukur
TTV untuk mengetahui keadaan umum anak
2. Beritahu
penanganan cephalhematoma pada ibu
3. Beri
suport pada ibu dan keluarga tentang keadaan bayinya
4. Beritahu
ibu untuk mencegah adanya infeksi
5. Anjurkan
ibu untuk tetap memberikan ASI
D. INTERVENSI
1. Memberitahukan
hasil pemeriksaan kepada ibu bahwa denyut jantung 128 x/menit, R 45 x/menit, T
37 °C, serta terdapat benjolan lunak pada kepala.
R/ Ibu mengetahui hasil pemeriksaan.
R/ Ibu mengetahui hasil pemeriksaan.
2. Memberitahukan
kepada ibu tentang penanganan bayi dengan cephalhematoma, yaitu bahwa tidak
diperlukan pengobatan atau tindakan khusus, karena benjolan akan hilang sendiri
dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
R/Ibu mengetahui tentang penanganan
bayi dengan cephalhematoma.
3. Memberikan
support pada ibu dan keluarga agar dapat menerima keadaan bayinya dengan baik
dan senantiasa merawat bayinya. Dan menjelaskan kemungkinan komplikasi yang
terjadi pada bayi, yaitu Hiperbilirubinemia, Kehilangan banyak darah, Infeksi, Cacat sisa menyerupai kista
R/Ibu dan keluarga mengerti dengan
keadaan bayinya dan bersedia merawat bayinya dengan baik. Dan mereka mengetahui
komplikasi yang mungkin akan terjadi.”
4. Menganjurkan
ibu untuk mencegah infeksi dengan cara menjaga benjolan agar tetap kering dan
mencegah luka dengan cara menjaga daerah benjolan dari benda keras yang bisa
menyebabkan trauma.
R/Ibu bersedia mencegah infeksi dan
mencegah luka pada daerah benjolan kepala bayinya.
E.
EVALUASI
S
|
:
|
Ibu
dan keluarga merasa lebih tenang dan lebih siap menerima keadaan bayi yang
mengalami cephalhematoma
|
O
|
:
|
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital : Jantung 128 x/menit,
Respirasi 45x/menit, suhu 37 °C
Kepala : masih terdapat benjolan
cephalhematoma
|
A
|
:
|
Masalah
kecemasan ibu dan keluarga dalam menghadapi keadaan bayinya yang mengalami
cephalhematoma sudah teratasi. Ibu sudah mengerti cara merawat bayi agar
terhindar dari infeksi.
|
P
|
:
|
Anjurkan
kepada ibu agar tetap waspada pada keadaan bayinya. Sesegera mungkin membawa
bayinya ke tempat pelayanan kesehatan jika terjadi masalah pada benjolan
cephalhematoma seperti luka dan kemungkinan infeksi.
|
5.
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohardjo.Sarwono.2002. Pelayanan Kesehatan Matemal dan Neonatal.Jakarta
: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Bagus Ida Gede Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan
Keluarga berencana.Jakarta : Penerbit Buku Kedikteran EGC
Prawiraharjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Behrman,
Ricard E.1988.Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Markum,A.H.1991.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1.Jakarta:Gaya
Baru
FRAKTURE HUMERUS
A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Mansjoer, Arif, 2000). Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang
yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap oleh tulang. ( Linda Juall C 1999).
Fraktur Humerus yaitu diskontinuitas atau hilangnya
struktur dari tulang humerus. (Mansjoer, Arif, 2000) Sedangkan pendapat lain, Fraktur humerus adalah fraktur pada tulang
humerus yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak
langsung. ( Sjamsuhidayat 2004 ).
Fraktur humerus adalah kelainan yang terjadi pada
kesalahan teknik dalam melahirkan lengan pada presentasi puncak kepala atau
letak sungsang dengan lengan membumbung ke atas. Pada keadaan ini biasanya sisi
yang terkena tidak dapat digerakkan dan refleks Moro pada sisi tersebut
menghilang.
Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran
letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan tangan
yang menjungkit merupakan penyebab terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada
kelahiran presentasi kepala dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan
ada tekanan keras dan langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis
frakturnya berupa greenstick atau fraktur total.
B. ETIOLOGI
Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran
letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan tangan
yang menjungkit merupakan penyebab terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada
kelahiran presentasi kepala dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan
ada tekanan keras dan langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis
frakturnya berupa greenstick atau fraktur total. Fraktur menurut Strek,1999
terjadi paling sering sekunder akibat kesulitan kelahiran (misalnya makrosemia
dan disproporsi sefalopelvik, serta malpresentasi).
C. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekekuatan
dan gaya pegas untuk menahan tekanan. (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. (Carpnito, Lynda Juall, 1995).
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma
di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang
yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya. (Black, J.M, et al, 1993).
D. PENATALAKSANAAN
Imobilisasi lengan pada sisi bayi dengan siku fleksi
90 derajat selama 10 sampai 14 hari serta kontrol nyeri. Daya penyembuhan
fraktur tulang bagi yang berupa fraktur tulang tumpang tindih ringan dengan
deformitas, umumnya akan baik. Dalam masa pertumbuhan dan pembentukkan tulang
pada bayi, maka tulang yang fraktur tersebut akan tumbuh dan akhirnya mempunyai
bentuk panjang yang normal
E. PENGOBATAN
1.
Pengobatan trauma lahir fraktur tulang kavikula
a.
Imobilisasi
lengan untuk mengurangi rasa sakit dan mempercepat pembentukan kalus.
b.
Lengan
difiksasi pada tubuh anak dalam posisi abduksi 600 dan fleksi pergelangan siku
900.
c.
Umumnya
dalam waktu 7 – 10 hari rasa sakit telah berkurang dan pembentukan kalus telah
terjadi.
2.
Pengobatan trauma lahir fraktur tulang humerus
a.
Imobilisasi
selama 2 – 4 minggu dengan fiksasi bidai
b.
Daya
penyembuhan fraktur tulang bagi yang berupa fraktur tulang tumpang tindih
ringan dengan deformitas, umumnya akan baik.
c.
Dalam
masa pertumbuhan dan pembentukkan tulang pada bayi, maka tulang yang fraktur
tersebut akan tumbuh dan akhirnya mempunyai bentuk panjang yang normal
F. KOMPLIKASI
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa
ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal,
hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan
komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan
pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan
yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari
luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah
komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES
terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila
ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti
pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi
karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan
banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan
fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk
menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur
berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan
tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk
(deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik. (Black, J.M, et al, 1993)
G. MACAM-MACAM
Fraktur
atau patah tulang humerus terbagi atas :
1.
Fraktur Suprakondilar humerus.
Ini terbagi atas :
a.
Jenis
ekstensi yang terjadi karena trauma langsung pada humerus distal melalui
benturan pada siku dan lengan bawah pada posisi supinasidan lengan siku dalam
posisi ekstensi dengan tangan terfikasi.
b.
Jenis
fleksi pada anak biasanya terjadi akibat jatuh pada telapak tangan dengan
tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit
fleksi.
2.
Fraktur interkondiler humerus.
Fraktur yang sering terjadi pada anak adalah fraktur
kondiler lateralis dan fraktur kondiler medialis humerus.
3. Fraktur batang humerus.
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung yang
mengakibatkan fraktur spiral (fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi).
4. Fraktur
kolum humerus.
Fraktur ini dapat terjadi pada kolum antomikum (terletak
di bawah kaput humeri) dan kolum sirurgikum (terletak di bawah tuberkulum).
ASUHAN KEBIDANAN
PADA NEONATUS DENGAN
FRAKTUR HUMERUS
A. PENGKAJIAN DATA
1.
DATA
SUBJEKTIF
a. Gejala
1)
Berkurangnya
gerakan tangan yang sakit.
2)
Refleks moro
asimetris.
3)
Terabanya
deformitas dan krepotasi di daerah fraktur disertai rasa sakit.
4)
Terjadinya tangisan
bayi pada gerakan pasif.
5)
Letak fraktur
umumnya di daerah diafisi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
radiologik.
b. Gejala Klinis
1)
Diketahui beberapa
hari kemudian dengan ditemukan adanya gerakan kaki yang berkurang dan
asimetris.
2)
Adanya gerakan
asimetris serta ditemukannya deformitas dan krepitasi pada tulang femur.
3)
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
radiologik.
2.
DATA
OBJEKTIF
a.
Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan fisik
dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi, terhadap berbagai
sistem tubuh, diantaranya:
Keadaan umum, sistem pernafasan, sistem
kardiovaskuler, sistem pencernaan, sistem genitourinary, sistem
muskuloskeletal, sistem integument, sistem neurosensori
b.
Pemeriksaan diagnostik.
1)
Pemeriksaan rontgen untuk menentukan lokasi/luasnya
fraktur.
2)
Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI : memperlihatkan
fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3)
Arteriogram dilakukan bila kerusakan vaskuler
dicurigai.
c.
Pemeriksaan laboratorium.
1)
Hitung darah lengkap, Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau
organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respons
stress normal setelah trauma.
2)
Hb bila kurang dari 10 mg % menandakan anemia dan
jumlah leukosit bila lebih dari 10.000/mm3 menandakan adanya
infeksi.
3)
Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin
untuk klirens dan ginjal.
4)
Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada
kehilangan darah, transfusi multipel, atau cedera hati.
B. DIAGNOSA MASALAH
Trauma lahir
dengan fraktur humerus.
C.
PERENCANAAN
1.
Pertahankan posisi baring/ekstremitas sesuai
indikasi. Berikan sokongan sendi di atas dan di bawah fraktur. R/Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan
gangguan posisi/penyembuhan.
2. Tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik. R/ Tempat tidur empuk atau lentur dapat membuat deformasi
gips yang masih basah.
3. Sokong fraktur dengan
bantal/gulungan selimut, pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit
dengan pembebat. R/ Mencegah gerakan yang tak
perlu.
D.
INTERVENSI
1.
Mempertahankan posisi baring/ekstremitas sesuai indikasi.
2.
Menempatkan pasien pada tempat
tidur ortopedik
3.
Menyokong fraktur dengan
bantal/gulungan selimut, pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit
dengan pembebat.
DAFTAR
PUSTAKA
INDRI T. LESTARI , mei 2010, 01.17
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal
Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder
Company, 1995.
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem
Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi
Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.
FRAKTUR CLAVICULA
A.
PENGERTIAN
Fraktur
atau patah tulang ialah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer 2000: 346).
Fraktur
adalah retaknya tulang, biasanya
disertai dengan cedera di jaringan sekitarnya. Clavicula merupakan salah satu
tulang yang sering mengalami fraktur apabila terjadi cedera pada bahu karena
letaknya yang superfisial.
Fraktur
klafikula adalah patahnya tulang klavikula pada saat proses persalinan biasanya
kesulitan melahirkan bahu pada letak kepala dan melahirkan lengan pada
prosentase bokong karena adanya penekanan pada lengkung bahu selama persalinan
berlangsung terdapat 1,5 – 3% dari persalinan pervaginam fractur klavikula ini
merupakan trauma lahir pada tulang yang tersering ditemukan dibanding dengan
trauma tulang lainnya (Wahab, 1995: 1209).
B.
ETIOLOGI
Penyebab farktur clavicula
biasanya disebabkan oleh trauma pada bahu akibat kecelakaan apakah itu karena jatuh
atau kecelakaan kendaraan bermotor, namun kadang dapat juga disebabkan oleh
faktor-faktor non traumatik. Berikut beberapa penyebab pada fraktur clavicula
yaitu :
1. Fraktur
clavicula pada bayi baru lahir akibat tekanan pada bahu oleh simphisis pubis
selama proses melahirkan.
2. Fraktur
clavicula akibat kecelakaan termasuk kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari
ketinggian dan yang lainnya.
3. Fraktur
clavicula akibat kompresi pada bahu dalam jangka waktu lama, misalnya pada
pelajar yang menggunakan tas yang terlalu berat.
4. Fraktur
clavicula akibat proses patologik, misalnya pada pasien post radioterapi,
keganasan clan lain-lain.
C.
PATOFISIOLOGI
Klavikula adalah tulang pertama yang mengalami proses
pengerasan selama perkembangan embrio minggu ke-5 dan 6. Tulang klavikula,
tulang humerus bagian proksimal dan tulang skapula bersama-sama membentuk bahu.
Tulang klavikula juga membentuk hubungan antara anggota badan atas dan Thorax.
Tulang ini membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke belakang thorax. Fraktur clavicula paling sering disebabkan oleh
karena mekanisme kompressi atau penekanan, paling sering karena suatu kekuatan
yang melebihi kekuatan tulang tersebut dimana arahnya dari lateral bahu apakah
itu karena jatuh, kecelakaan olahraga, ataupun kecelakaan kendaraan bermotor.
Pada daerah tengah tulang
clavicula tidak di perkuat oleh otot ataupun ligament-ligament seperti pada
daerah distal dan proksimal clavicula. Clavicula bagian tengah juga merupakan
transition point antara bagian lateral dan bagian medial. Hal ini yang
menjelaskan kenapa pada daerah ini paling sering terjadi fraktur dibandingkan
daerah distal ataupun proksimal
D.
PENATALAKSANAAN
1.
Fraktur
klavikula dapat di atasi dengan pemasangan balutan klavikula berbentuk angka
delapan. dengan cara dari pundak kanan pembalut di silangkan dari punggung
ketiak kiri, selanjutnya dari ketiak kiri ke depan dan ke atas pundak kiri.
Dari pundak kiri disilangkan lagi ke ketiak kanan lalu ke pundak kiri. Demikian
seterusnya dan akhirnya dengan sebuah peniti di kaitkan di ujung pembalut pada
bagian bawahnya. Bentuk ini akan mengekstensikan bahu dan meminimalkan besarnya
tumpang tindih fragmen fraktur.
2.
Imobilisasi
bayi dan informasikan keluarga atau orang tua untuk tidak sering mengangkat
bayi teutama ekstrmitas atas untuk mencegah komplikasi
3.
Bayi
tetap di berika ASI yang dapat di lakukan dengan berbaring.
E.
PENGOBATAN
Trauma
lahir fraktur tulang klavikula :
1. Immobilisasi lengan untuk mengurangi rasa sakit dan
mempercepat pembentukan kalus
2. Lengan
di fiksasi pada tubuh anak dalam posisi abduksi 60o dan fleksi
pergelangan siku 90o
3. Umumnya
dalam waktu 7-10 hari rasa sakit telah berkurang dan pembentukan kalus sudah
terjadi.
F.
KOMPLIKASI
Timbul
penekanan pleksus brakhialis dan pembuluh darah subklavia yaitu pembuluh darah yang
berada diantara klavikula dan iga pertama.
G.
MACAM-MACAM
Klasifikasi patah tulang secara umum
adalah :
1.
Fraktur
lengkap
Adalah patah atau diskontinuitas
jaringan tulang yang luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis
patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi lain.
2.
Fraktur
tidak lengkap
Adalah patah atau diskontinuitas
jaringan tulang dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai
korteks (masih ada korteks yang utuh).
Menurut Black dan Matassarin (1993)
yaitu fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia luar, meliputi:
1.
Fraktur
tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak
menonjol malalui kulit.
2.
Fraktur
terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan
dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi infeksi.
Lokasi patah tulang pada klavikula
diklasifikasikan menurut Dr. FL Allman tahun 1967 dan dimodifikasi oleh Neer
pada tahun 1968, yang membagi patah tulang klavikula menjadi 3 kelompok, yaitu
:
1.
Kelompok
1: patah tulang pada sepertiga tengah tulang klavikula (insidensi kejadian
75-80%).
- Pada
daerah ini tulang lemah dan tipis.
- Umumnya terjadi pada pasien yang
muda.
2.
Kelompok
2: patah tulang klavikula pada sepertiga distal (15-25%).
Terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan lokasi ligament coracoclavicular yakni (yakni, conoid dan trapezoid).
Terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan lokasi ligament coracoclavicular yakni (yakni, conoid dan trapezoid).
-
Tipe 1. Patah tulang secara umum pada daerah distal tanpa adanya perpindahan
tulang maupun ganguan ligament coracoclevicular.
-
Tipe 2 A. Fraktur tidak stabil dan terjadi perpindahan tulang, dan ligament
coracoclavicular masih melekat pada fragmen.
-
Tipe 2 B. Terjadi ganguan ligament. Salah satunya terkoyak ataupun
kedua-duanya.
-
Tipe 3. Patah tulang yang pada bagian distal clavikula yang melibatkan AC
joint.
-
Tipe 4. Ligament tetap utuk melekat pata perioteum, sedangkan fragmen proksimal
berpindah keatas.
-
Tipe 5. Patah tulang kalvikula terpecah menjadi beberapa fragmen.
3.
Kelompok
3: patah tulang klavikula pada sepertiga proksimal (5%)
Pada kejadian ini biasanya berhubungan dengan cidera neurovaskuler.
Pada kejadian ini biasanya berhubungan dengan cidera neurovaskuler.
ASUHAN
KEBIDANAN PADA NEONATUS DENGAN
FRAKTUR
CLAVIKULA
A.
PENGKAJIAN
1. Data subyektif
Fraktur
klavikula merupakan trauna lahir yang terjadi selama proses persalinan yang
insidennya adalah 2-7 per 1000 kelahiran hidup. Bayi akan mengalami salah satu
keadaan sebagai berikut :
a. Gerakan abnormal/ posisi asimetris
dengan lengan /tungkai
b. Bengkak pada daerah tulang yang
terkena
c. Menangis apabila lengan, kaki atau
bahu di gerakkan
d. Terdapat perubahan bentuk atau deformitas
(Wahab, 2000: 581)
2. Data obyektif
a. Pemeriksaan Fisik : Hilangnya fungsi
anggota gerak dan persendian yang terdekat ( paralisis ), reflek moro negatif
pada sisi yang terkena, bayi secara khas tidak menggerakkan lengan secara
bebas, pada palpasi teraba ketidakteraturan tulang dan krepitasi. (Wahab, 2000:
581)
b. Pemeriksaan diagnostic : foto
sinar X dari ekstremitas yang sakit atau lokasi fraktur. (Wahab, 2000: 581)
Diagnosis
pasti dengan jalan melakukan palpasi untuk menemukan letak fraktur dan melakukan
foto rontgen (Manuaba, 1998: 321).
B.
DIAGNOSA
MASALAH
Bayi
dengan masalah fraktur clavikula
C.
PERENCANAAN
1. Pemasangan balutan klavikula
berbentuk angka delapan.
R/ Bentuk ini akan mengekstensikan
bahu dan meminimalkan besarnya tumpang tindih fragmen fraktur.
2. Imobilisasi bayi dan informasikan
keluarga atau orang tua untuk tidak sering mengangkat bayi teutama ekstrmitas
atas.
R/ Untuk mencegah komplikasi
3. Bayi tetap di berikan ASI yang dapat
di lakukan dengan berbaring.
R/ Pemberian nutrisi harus tetap
diberikan sehingga pertumbuhan bayi tetap terjaga, posisi berbaring dapat
mengurangi mobilisasi pada bayi sehingga penyembuhan semakin cepat.
D.
INTERVENSI
1. Memasang balutan klavikula berbentuk
angka delapan.
2. Memberikan ASI pada bayi dengan posisi berbaring.
3. Melakukan imobilisasi bayi dan
informasikan keluarga atau orang tua untuk tidak sering mengangkat bayi teutama
ekstrmitas atas.
TRAUMA
PLEKSUS BRAKIALIS
A.
PENGERTIAN
Fleksus brakialis adalah Sebuah jaringan saraf tulang belakang yang berasal
dari belakang leher, meluas melalui aksila (ketiak), dan menimbulkan saraf
untuk ekstremitas atas. Pleksus brakialis dibentuk oleh penyatuan bagian dari
kelima melalui saraf servikal kedelapan dan saraf dada pertama, yang semuanya
berasal dari sumsum tulang belakang. Luka pada
pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan bawah, atas
dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan
terbatas, atau bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi
kapan saja, banyak cedera pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi
mungkin menjadi dampak selama proses persalinan, menyebabkan saraf pleksus
brakialis untuk meregang atau robek.
B.
ETIOLOGI
Trauma lahir
pada pleksus brakialis dapat dijumpai pada persalinan yang mengalami kesukaran
dalam melahirkan kepala atau bahu. Pada kelahiran preaentasi verteks yang
mengalami kesukaran melahirkan bahu, dapat terjadi penarikan balik cukup keras
ke lateral yang berakibat terjadinya trauma di pleksus brakialis.
Trauma lahir ini
dapat pula terjadi pada kelahiran letak sungsang yang mengalami kesukaran
melahirkan kepala bayi.
C. PENATALAKSANAAN
1.
Bedah
Regangan dan memar pada pleksus brakialis diamati selama 4 bulan, bila
tidak ada perbaikan, pleksus harus dieksplor. Nerve transfer (neurotization)
atau tendon transfer diperlukan bila perbaikan saraf gagal.
a.
Pembedahan
Primer
Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki injury
pada plexus serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung berat
ringan lesi.
1)
Neurolysis :
Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf.
2)
Neuroma
excision : Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali
dengan teknik end-to-end atau nerve grafts.
3)
Nerve
grafting: Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin
dilakukan tarikan. Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan
medial antebrachial cutaneous, dan cabang terminal sensoris pada n interosseus
posterior.
4)
Intraplexual neurotisation : menggunakan
bagian dari root yang masih melekat pada spinal cord sebagai donor untuk saraf
yang avulsi.
b.
Pembedahan
Sekunder
Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini
tergantung saraf yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled
muscle transfers, free muscle transfers, joint fusions and rotational, wedge or sliding
osteotomies.
2.
Rehabilitasi
pasca trauma pleksus bronkialis
a.
Paska operasi Nerve repair dan graft.
Setelah pembedahan immobilisasi bahu dilakukan selama 3-4 minggu. Terapi rehabilitasi dilakukan setelah
4 minggu paska operasi dengan gerakan pasif pada semua sendi anggota gerak atas untuk
mempertahankan luas gerak sendi. Stimulasi elektrik diberikan pada minggu ketiga
sampai ada perbaikan motorik. Pasien secara terus menerus diobservasi dan
apabila terdapat tanda-tanda perbaikan motorik, latihan aktif bisa segera dimulai. Latihan
biofeedback bermanfaat bagi pasien agar otot-otot yang mengalami reinnervasi bisa
mempunyai kontrol yang lebih baik.
b.
Paska operasi free muscle transfer
Setelah transfer otot, ekstremitas atas diimobilisasi dengan bahu abduksi
30, fleksi 60 dan rotasi internal, siku fleksi 100. Pergelangan tangan posisi
neutral, jari-jari dalam posisi fleksi atau ekstensi tergantung jenis
rekonstruksinya. Dilakukan juga latihan gerak sendi gentle pasif pada sendi
bahu, siku dan semua jari-jari, kecuali pada pergelangan tangan. Enam minggu
paska operasi selama menjaga regangan berlebihan dari jahitan otot dan tendon,
dilakukan ekstensi pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif ekstensi siku.
Sembilan minggu paska operasi, ortesa airbag dilepas dan ortesa elbow sling
dipakai untuk mencegah subluksasi bahu.
c.
Setelah Reinervasi
3-8 bulan paska operasi Teknik elektromiografi feedback di mulai untuk
melatih otot yang ditransfer untuk menggerakkan siku dan jari dimana pasien
biasanya kesulitan mengkontraksikan ototnya secara efektif.
Pada alat biofeedback terdapat level nilai ambang yang dapat diatur oleh
terapis atau pasien sendiri. Saat otot berkontraksi pada level ini, suatu nada
berbunyi, layar osciloskop akan merekam respons ini. Level ini dapat diatur
sesuai tujuan yang akan dicapai.
1)
Terapi
Okupasi
Terapi
okupasi terutama diperlukan untuk :
a)
Memelihara
luas gerak sendi bahu, membuat ortesa yg tepat untuk membantu fungsi tangan,
siku dan lengan, mengontrol edema defisit sensoris.
b)
Melatih
kemampuan untuk menulis, mengetik, komunikasi.
c)
Menggunakan
teknik-teknik untuk aktivitas sehari-hari, termasuk teknik menggunakan satu
lengan, menggunakan peralatan bantu serta latihan penguatan dengan mandiri.
2)
Terapi
Rekreasi
Terapi ini
sebagai strategi dan aktivitas kompensasi sehingga dapat menggantikan berkurang
dan hilangnya fungsi ekstremitas.
D.
PENGOBATAN
Pengobatan
tergantung pada lokasi dan jenis cedera pada pleksus brakialis dan mungkin
termasuk terapi okupasi dan fisik dan, dalam beberapa kasus, pembedahan.
Beberapa cedera pleksus brakialis menyembuhkan sendiri. Anak-anak dapat puih
atau sembuh dengan 3 sampai 4 bulan.
Prognosis
juga tergantung pada lokasi dan jenis cedera pleksus brakialis menentukan
prognosis. Untuk luka avulsion dan pecah tidak ada potensi untuk pemulihan
kecuali rekoneksi bedah dilakukan pada waktu yang tepat. Untuk cedera neuroma
dan neurapraxia potensi untuk pemulihan bervariasi. Kebanyakan pasien dengan
cedera neurapraxia sembuh secara spontan dengan kembali 90-100% fungsi.
E.
JENIS
1.
Paresis/
paralysis Duchene-Erb

Trauma lahir Duchene –Erb terjadi sebagai akibat
kerusakan serabut saraf C.5-C.6 dan merupakan Paresis/ paralysis yang tersering
dijumpai dalam gugusan pleksus brakialis. Reflek bisep dan radial negative,
reflex moro asimetris, tetapi reflex pegang tetap positif. Pada waktu dilakukan
abduksi pasif, terlihat lengan akan jatuh lemah disamping badan dengan yang
khas.
Komplikasi pada keadaan ini, secara klinis disamping
gejala Erb akan terlihhat pula adanya sindrom gangguan nafas.
Penanganan terhadap trauma pleksus brakialis ditujukan
untuk mempercepat penyembuhan serabut saraf yang rusak dan mencegah kemungkinan
terjadinya komplikasi lain seperti kontraktur otot. Upaya ini dilakukan antara
lain dengan jalan imobilisasi pada posisi tertentu selama 1-2 minggu yang
kemudian diikuti program latihan.
Pada trauma Erb, imobilisasi dilakukan dengan posisi
karakteristik kelumpuhan Erb. Lengan yang sakit difiksasi dalam posisi abduksi
90º disertai eksorotasi pada sendi bahu, fleksi 90 pada sendi siku, supinasi
penuh lengan bawah, disertai ekstensi telapak tangan. Fiksasi dapat dilakukan
secara sederhana dengan mengikat lengan pada kasur tempat tidur.
Pada trauma yang ringan, yang hanya berupa edema atau
perdarahan ringan, pada pangkal saraf, fiksasi hanya dilakukan beberapa hari
atau 1-2 minggu untuk memberi kesempatan penyembuhan yang kemudian diikuti
program mobilisasi atau latihan.
2.
Paresis/
paralysis Klumpke
Trauma lahir Klumpke terjadi sebagai akibat kerusakan
pada saraf C.7- Th 1.
Yang kemudian menimbulkan gangguan fungsi otot telapak tangan bagian dalam.
Secara klinis terlihat reflex pegang menjadi negative, telapak tangan terkulai
lemah, sedangkan reflex bisep dan radialis tetap posittif. Jika serabut
simpatis terkena, maka akan terlihat syndrome Horner, yang ditandai anatara
lainoleh adanya gejala ptosis, miosis, enoftalmus, dan hilangnya keringat di
daerah kepala dan muka homolateral dari trauma lahir tersebut.
Penatalaksanaan trauma lahir klumpke berupa
imobilisasi dengan memasang bidai pada telapak tangan dan sendi tangan yang
sakit pada posisi netral yang selanjutnya diusahakan program latihan.
3.
Paresis/
paralysis otot lengan bagian dalam
Pada jenis trauma lahir ini, kerusakan yang terjadi
pada serabut pleksus brakialis lebih luas dan dalam, yang berakibat fungsi otot
ekstermitas atas akan hilang sama sekali. Ekstermitas akan terkulai lemah,
sedangkan semua refles otot menghilang. Pada keadaan ini sering dijumpai adanya
deficit sensoris pada lengan. Pada kasus trauma lahir pleksus brakialis,
pemeriksaan radiologic dada dan lengan atas dapat dianjurkan untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya fraktur klavikula atau fraktur lengan atas,
disamping untuk mencari komplikasi lain seperti kelumpuhan otot diafragma.
Prognosis trauma lahir pleksus brakialis tergantung
dari berat ringannya trauma lahir tersebut. Pada trauma ringan, yang hanya
berupa edema atau perdarahan kecil dan tidak terdapat kerusakan serabut saraf,
maka gangguan fungsi lengannya hanya bersifat sementara. Fungsi otot akan
kembali normal dalam beberapa hari setelah edema atau perdarahan lokal hilang.
Pada trauma lahir yang lebih berat, yang menyebabkan rusaknya atau tercabutnya
serabut saraf dan rusaknya selabut saraf, secara klinis akan dapat menimbulkan
paralis yang menetap. Pada kasus yang demikian perlu dilakukan pemeriksaan
neurologic. Usaha pengobatan fisioterapi atau tindakan operatif terhadap
kerusakan berat serabut saraf ini, agaknya belum menunjukkan hasil yang
memuaskan.
4.
Paresis/
paralysis saraf frenikus
Trauma lahir saraf fremikus terjadi akibat kerusakan
serabut saraf C.3, 4, 5 yang merupakan salah satu gugusan saraf dalam
pleksus brakialis. Umumnya paresis/
paralysis saraf frenikus berhubungan erat dengan adanya paresis/ paralys
Duchene- Erb. Serabut saraf renikus berfungsi menginervasi otot diafragma,
sehingga pada gangguan saraf ini akan timbul pula gangguan fungsi otot
diafragma. Secara klinis, gejala yang terlihat adalah syndrome gawat nafas,
sianosis, dan takipnea. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan radiologic,
yang menunjukkan adanya elevasi diafragma yang sakit, serta pergeseran
mediastinum dan jantung kearah yang berlawanan. Pada pemeriksaan fluoroskopi,
disamping terlihat diafragma yang sakit lebih tinggi dari yang sehat, terlihat
pula gerakan paradoksismal atau seesaw movements pada kedua hemidiafragma.
Gambaran yang akan tampak adalah waktu inspirasi
diafragma yang sehat bergerak kebawah, sedangkan yang sakit bergerak ke atas ;
gambaran sebaliknya tampak pada waktu ekspirasi. Pada pemeriksaan fluoroskopi
terlihat pula mediastinum bergeser ke posisi normal pada waktu inspirasi.
Pengobatan ditujukan untuk memperbaiki keadaan umum
bayi. Bayi diletakkan miring ke bagian yang sakit, disamping diberikan therapy
oksigen. Pemberian cairan intra vena pada hari hari pertama dapat
dipertimbangkan bila keadaan bayi kurang baik atau dikhawatirkan terjadinya
asidosis. Jika keadaan umum telah membaik, pemberian minum per-oral dapat
dipertimbangkan. Pada kasus demikian perlu dilakukan pengawasan cermat terhadap
kemungkinan terjadinya pneumonia hipostatik akibat gangguan fungsi diafragma
pada bagian yang sakit. Pemberian antibiotic dapat dianjurkan bila gangguan
pernafasan terlihat berat atau kelumpuhan saraf frenikus bersifat bilateral,
maka dapat dipertimbangkan penggunaan ventilator. Penggunaan pacu elektrik
diafragma dapat dianjurkan bila sarana memungkinkan serta kontraksi otot
diafragma cukup baik. Tindakan bedah dapat dilakukan bila sesak nafas sangat
berat atau sesak nafas bertambah berat walaupun telah dilakukan pengobatan
konservatif yang memadai. Walaupun bayi tidak menunjukkan gejala sesak berat
tetapi pada pemeriksaan radiologic, 3-4 bulan kemudian fungsi hemidiafragma
yang sakit tidak menunjukkan kemajuan yang berarti, maka perlu dipikirkan
terhadap kemungkinan tindakan bedah.
ASUHAN KEBIDANAN PADA NEONATUS DENGAN
TRAUMA PLEKSUS BRAKIALIS
A.
PENGKAJIAN
a. Data
Subjektif
· Lengan
lemas dan lunglai
· Sesak
nafas
· Bayi
tidak dapat melakukan gerakan meraih sesuatu
b. Data
Objektif
· Refleks
biseps dan radial negatif
· Refleks
moro asimetris
B.
PENENTUAN MASALAH
Trauma lahir pleksus brakialis
dengan jenis paresis/paralysis Duchene-Erb.
C. INTERVENSI
1. Lakukan
imobilisasi pada posisi tertentu, yaitu abduksi 90o disertai
eksorotasi pada sendi bahu, fleksi 90opada sendi siku, supinasi
penuh lengan bawah, disertai ekstensi telapak tangan.
2. Lakukan
fiksasi secara sederhana dengan mengikat lengan pada kasur tempat tidur.
DAFTAR PUSTAKA
Mangunatmadja I., Deteksi Dini Gangguan
Tumbuh Kembang Bayi Risiko Tinggi, dalam Temu Muka dan Konsultasi : Deteksi
dan Stimulasi Dini Bayi Risiko Tinggi, Jakarta, 2000.
Maridin F., Kematian Perinatal di RSUP
Sarjito th 1991-1995 & Analisis Faktor
Resiko, Bagian Obstetri dan Ginekologi
FK UGM, Yogyakarta,1996 : 2-4
Wiknjosastro H., Perlukaan persalinan,
dalam Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta, 1997 : 716-722.
Markum,
A.H. Ilmu Kesehatan Anak. Balai penerbit FKUI. Jakarta. 1996