FACHRUNNNISA NUR BADIYANTI. CINTA AYAH DAN MAMAH MENGUATKANKU

Kamis, 13 Desember 2012

CEPHAL HAEMATOMA, FRAKTURE HUMERUS, FRAKTURE KLAVICULA DAN PLEKSUS BREGHMATIKA

TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS, BAYI, BALITA, APRAS
DOSEN: IBU NURLAILIS SA’ADAH, M. Kes.
KELAINAN PADA NOENATUS
CEPHAL HEMATOMA, FRAKTURE HUMERUS,
FRAKTUR CLAVICULA, TRAUMA PLEKSUS BRAKIALIS
 







Di susunOleh :
ARTINTA SUN SERVANDA
ARUM RISKY SETYAWATI
DHONA AYU GUMILAR
FACHRUNNISA NUR BADIYANTI
MAGHFIROH RAHMAWATI
NIHLA HANIF
SEPTIANA WIN SAPUTRI
URFINA MAZAYA HUSNA

REGULER TK II

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KEBIDANAN
PRODI DIII KEBIDANANKAMPUS MAGETAN
MAGETAN
2012
CEPHAL HEMATOMA

A.      PENGERTIAN
Cephal hematoma adalah perdarahan sub periosteal akibat kerusakan jaringan poriestum karena tarikan atau tekanan jalan lahir. Dan tidak pernah melampaui batas sutura garis tengah. Tulang tengkorak yang sering terkena adalah tulang temporal atau parietal ditemukan pada 0,5-2 % dari kelahiran hidup. (Menurut P.Sarwono.2002. Pelayanan Kesehatan Matemal dan Neonatal ; Bagus Ida Gede Manuaba. 1998; Prawiraharjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan)

B.       ETIOLOGI
Cephal hematoma dapat terjadi karena :
1.    Persalinan lama
Persalinan yang lama dan sukar, dapat menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis ibu terhadap tulang kepala bayi, yang menyebabkan robeknya pembuluh darah.
2.    Tarikan vakum atau cunam
Persalinan yang dibantu dengan vacum atau cunam yang kuat dapat menyebabakan penumpukan darah akibat robeknya pembuluh darah yang melintasi tulang kepala ke jaringan periosteum.
3.    Kelahiran sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi
(Prawiraharjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan)
Kejadian hematoma sefal kadang-kadang berhubungan dengan kejadian trauma lahir lainnya di daerah kepala seperti fraktur tulang tengkorak. Sekitar 5-15% hematoma sefal mempunyai hubungan dengan fraktur linier sederhana pada tulang tengkorak. Fraktur linier sederhana ini biasanya tidak memerlukan tindakan khusus jika tidak ditemukan komplikasi neurologik lainnya. Untuk mengetahui apakah hematoma sefal mempunyai hubungan dengan fraktur linier, perlu dipelajari riwayat kelahiran bayi. Jika pada kelahiran bayi dicurigai kemungkinan terjadinya fraktur, maka perlu dilakukan pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan radiologik pada hematoma sefal hanya dilakukan jika ditemukan adanya gejala susunan saraf pusat atau pada hematoma sefal yang terlalu besar disertai dengan adanya riwayat kelahiran kepala yang sukar dengan atau tanpa tarikan cunam yang sulit ataupun kurang sempurna.

C.      PATOFISIOLOGI
Cephal hematoma terjadi akibat robeknya pembuluh darah yang melintasi tulang kepala ke jaringan periosteum. Robeknya pembuluh darah ini dapat terjadi pada persalinan yang sukar dan lama yang menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis ibu terhadap tulang kepala bayi. (Markum,A.H.1991)

D.      PENATALAKSANAAN
Cephal hematoma umumnya tidak memerlukan perawatan khusus. Biasanya akan mengalami resolusi khusus sendiri dalam 2-8 minggu tergantung dari besar kecilnya benjolan. Namun apabila dicurigai adanya fraktur, kelainan ini akan agak lama menghilang (1-3 bulan) dibutuhkan penatalaksanaan khusus antara lain :
1.    Menjaga kebersihan luka
2.    Tidak boleh melakukan massase luka/benjolan Cephal hematoma
Tindakan masase benjolan hematoma sefal seaiknya tidak dilakukan, karena tekanan pada benjolan yang masih baru akan diteruskan ke segala arah dan dikhawatirkan akan mengakibatkan makin meluasnya robekan lapisan periost
3.    Pemberian vitamin K
(Markum,A.H.1991)

E.       KOMPLIKASI
1.    Hiperbilirubinemia
Fototerapi diperlukan untuk pengobatan hiperbilirubinemia (Behrman,Richard E.609)


2.    Kehilangan banyak darah
Kadang-kadang cephalhematoma masih dapat mengakibatkan kehilangan darah cukup banyak sehingga memerlukan tranfusi atau mungkin disertai patah tulang tengkorak yang disertai dengan terjadinya perdarahan intrakranial. (Behrman,Richard E.609)
3.    Infeksi
Jika ditemukan luka kecil di permukaan benjolan hematoma sefal akibat suatu tindakan pada waktu melahirkan bayi, harus dijaga agar luka tetap kering dan bersih, karena adanya timbunan darah dalam benjolan di bawah luka tersebut dapat merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri. Begitu pula tindakan pungsi hematoma sefal yang bertujuan untuk mengeluarkan timbunan darah, walaupun benjolan dapat mengecil, tetapi luka pungsi dapat merupakan pintu gerbang masuknya bakteri.. Pemberian vitamin K dapat dianjurkan pada trauma lahir ini. (Markum,A.H.1991)
4.      Cacat sisa menyerupai kista
Beberapa cephal hematoma tetap sebagai tonjolan tulang selama bertahun-tahun dan dapat ditemukan melalui pemeriksaan radiologis sebagai pelebaran ruang diploe; cacat yang menyerupai kista dapat bertahan selama bertahun-tahun. (Behrman,Richard E.609)




ASUHAN KEBIDANAN PADA NEONATUS DENGAN
CEPHAL HEMATOMA

A.      DATA PENGKAJIAN
1.    Data Subyektif
1.1         Biodata
Identitas pasien dan keluarga
1.2         Keluhan Utama
Ibu mengatakan telah melahirkan 6 jam yang lalu dan khawatir dengan keadaan bayinya karena terdapat benjolan di kepala bayinya.
1.3          Riwayat Persalinan
a.       Persalinan ke : 1
b.      Tempat dan penolong persalinan : Klinik dan Bidan
c.       Masalah saat persalinan : persalinan macet
d.      Cara persalinan : dengan tindakan vacum ekstraksi
e.       Keadaan bayi saat lahir : Hidup, segera menangis, BB 2700 gr, PB 49 cm.
1.4         Pola Kebutuhan Biologis
a.       Nutrisi
Jenis yang dikonsumsi : ASI
Frekuensi : Sesering mungkin
Banyaknya : Sampai kenyang
b.      Eliminasi
BAB            : Belum
BAK            : 1 kali, warna kuning jernih dengan bau khas
c.       Personal hygine
Frekuensi mandi : Belum
Frekuensi ganti pakaian : Sesuai dengan kebutuhan
1.5         Data Psikososial dan Spiritual
a.       Tanggapan ibu dan keluarga terhadap kelahiran bayi : Senang
b.      Tanggapan ibu dan keluarga terhadap keadaan bayi : Khawatir
c.       Pengambil keputusan dalam keluarga : Suami
d.      Pengetahuan keluarga tentang perawatan bayi : Bidan
2.    Data Obyektif
2.1     Pemeriksaan Umum
a.    Keadaan umum : Baik
b.     Kesadaran : Compos mentis
c.      Tanda vital : Jantung 128 x/menit, Respirasi 45x/menit, suhu 37°C
d.     Apgar skor : 8
2.2     Pemeriksaan antropometri
a.    BB : 2700 gr
b.    PB : 49 cm
c.      Lingkar kepala
Circum ferentia suboccipito bregmatika : 33 cm
Circum ferentia fronto occipitalis : 34 cm
Circum ferentia mento occipitalis : 35 cm
d.    Lingkar dada : 34 cm
e.    LILA : 11 cm
2.3     Pemeriksaan khusus
Kepala
:
Ubun-ubun datar, sutura terpisah, ada benjolan lunak
Mata
:
Tidak tampak pembengkakan kelopak mata, tidak ada pengeluaran cairan, sklera tidak ikterik.
Telinga
:
Simetris, tidak ada pengeluaran cairan.
Hidung
:
Simetris, tidak ada polip, tidak ada pergerakan cuping hidung
Mulut
:
Bibir simetris dan berwarna merah
Dada/mamae
:
Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, tidak ada retraksi dada dan terdapat areola pada mammae.
Perut
:
Tidak ada benjolan, tidak ada tanda-tanda infeksi pada tali pusat.
Tungkai
:
Simetris, lengkap, gerakan aktif, warna kulit kemerahan, tidak ada fraktur
Genetalia
:
Testis sudah turun ke skrotum.
Anus
:
Berlubang
2.4     Pemeriksaan refleks primitif
a. Reflek moro : +
b. Reflek rooting : +
c. Reflek grasphink : +
d. Reflek sucking : +
e. Reflek tavick neck : -
f. Reflek baby sky : -
2.5     Pemeriksaan perkembangan bayi
a. Kemampuan bahasa bayi : Menangis
b. Kemampuan motarik halus : -
c. Kemampuan motarik kasar : -
d. Adaptasi sosial : -
2.6     Pemeriksaan penunjang : Tidak dilakukan

B.       ASSESMENT
a.    Diagnasa kebidanan : Bayi lahir normal, tindakan vacum ekstraksi belakang kepala dengan Cephalhematoma
b.    Masalah : Kecemasan orang tua bayi
c.    Kebutuhan : Konseling tentang perawatan bayi dengan cephalhematoma

C.       PLANNING
1.    Ukur TTV untuk mengetahui keadaan umum anak
2.    Beritahu penanganan cephalhematoma pada ibu
3.    Beri suport pada ibu dan keluarga tentang keadaan bayinya
4.    Beritahu ibu untuk mencegah adanya infeksi
5.    Anjurkan ibu untuk tetap memberikan ASI



D.      INTERVENSI
1.    Memberitahukan hasil pemeriksaan kepada ibu bahwa denyut jantung 128 x/menit, R 45 x/menit, T 37 °C, serta terdapat benjolan lunak pada kepala.
R/ Ibu mengetahui hasil pemeriksaan.
2.    Memberitahukan kepada ibu tentang penanganan bayi dengan cephalhematoma, yaitu bahwa tidak diperlukan pengobatan atau tindakan khusus, karena benjolan akan hilang sendiri dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
R/Ibu mengetahui tentang penanganan bayi dengan cephalhematoma.
3.    Memberikan support pada ibu dan keluarga agar dapat menerima keadaan bayinya dengan baik dan senantiasa merawat bayinya. Dan menjelaskan kemungkinan komplikasi yang terjadi pada bayi, yaitu Hiperbilirubinemia, Kehilangan banyak darah, Infeksi, Cacat sisa menyerupai kista
R/Ibu dan keluarga mengerti dengan keadaan bayinya dan bersedia merawat bayinya dengan baik. Dan mereka mengetahui komplikasi yang mungkin akan terjadi.”
4.    Menganjurkan ibu untuk mencegah infeksi dengan cara menjaga benjolan agar tetap kering dan mencegah luka dengan cara menjaga daerah benjolan dari benda keras yang bisa menyebabkan trauma.
R/Ibu bersedia mencegah infeksi dan mencegah luka pada daerah benjolan kepala bayinya.

E.       EVALUASI
S
:
Ibu dan keluarga merasa lebih tenang dan lebih siap menerima keadaan bayi yang mengalami cephalhematoma
O
:
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital : Jantung 128 x/menit, Respirasi 45x/menit, suhu 37 °C
Kepala : masih terdapat benjolan cephalhematoma
A
:
Masalah kecemasan ibu dan keluarga dalam menghadapi keadaan bayinya yang mengalami cephalhematoma sudah teratasi. Ibu sudah mengerti cara merawat bayi agar terhindar dari infeksi.
P
:
Anjurkan kepada ibu agar tetap waspada pada keadaan bayinya. Sesegera mungkin membawa bayinya ke tempat pelayanan kesehatan jika terjadi masalah pada benjolan cephalhematoma seperti luka dan kemungkinan infeksi.



5.       
DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo.Sarwono.2002. Pelayanan Kesehatan Matemal dan Neonatal.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Bagus Ida Gede Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga berencana.Jakarta : Penerbit Buku Kedikteran EGC

Prawiraharjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Behrman, Ricard E.1988.Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Markum,A.H.1991.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1.Jakarta:Gaya Baru



FRAKTURE HUMERUS

A.    PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Mansjoer, Arif, 2000).  Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. ( Linda Juall C 1999).
Fraktur Humerus yaitu diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus. (Mansjoer, Arif, 2000) Sedangkan pendapat lain,  Fraktur humerus adalah fraktur pada tulang humerus yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung. ( Sjamsuhidayat 2004 ).
Fraktur humerus adalah kelainan yang terjadi pada kesalahan teknik dalam melahirkan lengan pada presentasi puncak kepala atau letak sungsang dengan lengan membumbung ke atas. Pada keadaan ini biasanya sisi yang terkena tidak dapat digerakkan dan refleks Moro pada sisi tersebut menghilang.
Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit merupakan penyebab terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran presentasi kepala dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras dan langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa greenstick atau fraktur total.

B.     ETIOLOGI
Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit merupakan penyebab terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran presentasi kepala dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras dan langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa greenstick atau fraktur total. Fraktur menurut Strek,1999 terjadi paling sering sekunder akibat kesulitan kelahiran (misalnya makrosemia dan disproporsi sefalopelvik, serta malpresentasi).
C.    PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. (Carpnito, Lynda Juall, 1995).
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. (Black, J.M, et al, 1993).

D.    PENATALAKSANAAN
Imobilisasi lengan pada sisi bayi dengan siku fleksi 90 derajat selama 10 sampai 14 hari serta kontrol nyeri. Daya penyembuhan fraktur tulang bagi yang berupa fraktur tulang tumpang tindih ringan dengan deformitas, umumnya akan baik. Dalam masa pertumbuhan dan pembentukkan tulang pada bayi, maka tulang yang fraktur tersebut akan tumbuh dan akhirnya mempunyai bentuk panjang yang normal

E.     PENGOBATAN
1.    Pengobatan trauma lahir fraktur tulang kavikula
a.    Imobilisasi lengan untuk mengurangi rasa sakit dan mempercepat pembentukan kalus.
b.    Lengan difiksasi pada tubuh anak dalam posisi abduksi 600 dan fleksi pergelangan siku 900.
c.    Umumnya dalam waktu 7 – 10 hari rasa sakit telah berkurang dan pembentukan kalus telah terjadi.

2.    Pengobatan trauma lahir fraktur tulang humerus
a.    Imobilisasi selama 2 – 4 minggu dengan fiksasi bidai
b.    Daya penyembuhan fraktur tulang bagi yang berupa fraktur tulang tumpang tindih ringan dengan deformitas, umumnya akan baik.
c.    Dalam masa pertumbuhan dan pembentukkan tulang pada bayi, maka tulang yang fraktur tersebut akan tumbuh dan akhirnya mempunyai bentuk panjang yang normal

F.     KOMPLIKASI
1.    Komplikasi Awal
a.    Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.    Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c.    Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d.   Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.    Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f.     Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2.    Komplikasi Dalam Waktu Lama
a.    Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
b.    Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c.    Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik. (Black, J.M, et al, 1993)


G.    MACAM-MACAM
Fraktur atau patah tulang humerus terbagi atas :
1.    Fraktur Suprakondilar humerus.
Ini terbagi atas :
a.    Jenis ekstensi yang terjadi karena trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku dan lengan bawah pada posisi supinasidan lengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan terfikasi.
b.    Jenis fleksi pada anak biasanya terjadi akibat jatuh pada telapak tangan dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi.
2.    Fraktur interkondiler humerus.
Fraktur yang sering terjadi pada anak adalah fraktur kondiler lateralis dan fraktur kondiler medialis humerus.
3.    Fraktur batang humerus.
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung yang mengakibatkan fraktur spiral (fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi).
4.    Fraktur kolum humerus.
Fraktur ini dapat terjadi pada kolum antomikum (terletak di bawah kaput humeri) dan kolum sirurgikum (terletak di bawah tuberkulum).


ASUHAN KEBIDANAN PADA NEONATUS DENGAN
FRAKTUR HUMERUS

A.    PENGKAJIAN DATA
1.    DATA SUBJEKTIF
a.    Gejala
1)   Berkurangnya gerakan tangan yang sakit.
2)   Refleks moro asimetris.
3)   Terabanya deformitas dan krepotasi di daerah fraktur disertai rasa sakit.
4)   Terjadinya tangisan bayi pada gerakan pasif.
5)   Letak fraktur umumnya di daerah diafisi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan radiologik.
b.   Gejala Klinis
1)   Diketahui beberapa hari kemudian dengan ditemukan adanya gerakan kaki yang berkurang dan asimetris.
2)   Adanya gerakan asimetris serta ditemukannya deformitas dan krepitasi pada tulang femur.
3)    Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan radiologik.

2.    DATA OBJEKTIF
a.    Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi, terhadap berbagai sistem tubuh, diantaranya:
Keadaan umum, sistem pernafasan, sistem kardiovaskuler, sistem pencernaan, sistem genitourinary, sistem muskuloskeletal, sistem integument, sistem neurosensori
b.    Pemeriksaan diagnostik.
1)   Pemeriksaan rontgen untuk menentukan lokasi/luasnya fraktur.
2)   Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI : memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3)   Arteriogram dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
c.    Pemeriksaan laboratorium.
1)   Hitung darah lengkap, Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress normal setelah trauma.
2)   Hb bila kurang dari 10 mg % menandakan anemia dan jumlah leukosit bila lebih dari 10.000/mm3 menandakan adanya infeksi.
3)   Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens dan ginjal.
4)   Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel, atau cedera hati.

B.     DIAGNOSA MASALAH
Trauma lahir dengan fraktur humerus.

C.     PERENCANAAN
1.    Pertahankan posisi baring/ekstremitas sesuai indikasi. Berikan sokongan sendi di atas dan di bawah fraktur. R/Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi/penyembuhan.
2.    Tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik. R/ Tempat tidur empuk atau lentur dapat membuat deformasi gips yang masih basah.
3.    Sokong fraktur dengan bantal/gulungan selimut, pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit dengan pembebat. R/ Mencegah gerakan yang tak perlu.

D.    INTERVENSI
1.    Mempertahankan posisi baring/ekstremitas sesuai indikasi.
2.    Menempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik
3.    Menyokong fraktur dengan bantal/gulungan selimut, pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit dengan pembebat.


DAFTAR PUSTAKA

INDRI T. LESTARI , mei 2010, 01.17

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius

Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995

Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.



FRAKTUR CLAVICULA

A.      PENGERTIAN
Fraktur atau patah tulang ialah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer 2000: 346).
Fraktur adalah retaknya tulang, biasanya disertai dengan cedera di jaringan sekitarnya. Clavicula merupakan salah satu tulang yang sering mengalami fraktur apabila terjadi cedera pada bahu karena letaknya yang superfisial.
Fraktur klafikula adalah patahnya tulang klavikula pada saat proses persalinan biasanya kesulitan melahirkan bahu pada letak kepala dan melahirkan lengan pada prosentase bokong karena adanya penekanan pada lengkung bahu selama persalinan berlangsung terdapat 1,5 – 3% dari persalinan pervaginam fractur klavikula ini merupakan trauma lahir pada tulang yang tersering ditemukan dibanding dengan trauma tulang lainnya (Wahab, 1995: 1209).

B.       ETIOLOGI
Penyebab farktur clavicula biasanya disebabkan oleh trauma pada bahu akibat kecelakaan apakah itu karena jatuh atau kecelakaan kendaraan bermotor, namun kadang dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor non traumatik. Berikut beberapa penyebab pada fraktur clavicula yaitu :
1.    Fraktur clavicula pada bayi baru lahir akibat tekanan pada bahu oleh simphisis pubis selama proses melahirkan.
2.    Fraktur clavicula akibat kecelakaan termasuk kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan yang lainnya.
3.    Fraktur clavicula akibat kompresi pada bahu dalam jangka waktu lama, misalnya pada pelajar yang menggunakan tas yang terlalu berat.
4.    Fraktur clavicula akibat proses patologik, misalnya pada pasien post radioterapi, keganasan clan lain-lain.

C.      PATOFISIOLOGI
Klavikula adalah tulang pertama yang mengalami proses pengerasan selama perkembangan embrio minggu ke-5 dan 6. Tulang klavikula, tulang humerus bagian proksimal dan tulang skapula bersama-sama membentuk bahu. Tulang klavikula juga membentuk hubungan antara anggota badan atas dan Thorax. Tulang ini membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke belakang thorax. Fraktur clavicula paling sering disebabkan oleh karena mekanisme kompressi atau penekanan, paling sering karena suatu kekuatan yang melebihi kekuatan tulang tersebut dimana arahnya dari lateral bahu apakah itu karena jatuh, kecelakaan olahraga, ataupun kecelakaan kendaraan bermotor.
Pada daerah tengah tulang clavicula tidak di perkuat oleh otot ataupun ligament-ligament seperti pada daerah distal dan proksimal clavicula. Clavicula bagian tengah juga merupakan transition point antara bagian lateral dan bagian medial. Hal ini yang menjelaskan kenapa pada daerah ini paling sering terjadi fraktur dibandingkan daerah distal ataupun proksimal

D.      PENATALAKSANAAN
1.         Fraktur klavikula dapat di atasi dengan pemasangan balutan klavikula berbentuk angka delapan. dengan cara dari pundak kanan pembalut di silangkan dari punggung ketiak kiri, selanjutnya dari ketiak kiri ke depan dan ke atas pundak kiri. Dari pundak kiri disilangkan lagi ke ketiak kanan lalu ke pundak kiri. Demikian seterusnya dan akhirnya dengan sebuah peniti di kaitkan di ujung pembalut pada bagian bawahnya. Bentuk ini akan mengekstensikan bahu dan meminimalkan besarnya tumpang tindih fragmen fraktur.
2.         Imobilisasi bayi dan informasikan keluarga atau orang tua untuk tidak sering mengangkat bayi teutama ekstrmitas atas untuk mencegah komplikasi
3.         Bayi tetap di berika ASI yang dapat di lakukan dengan berbaring.


E.       PENGOBATAN
Trauma lahir fraktur tulang klavikula :
1.    Immobilisasi  lengan untuk mengurangi rasa sakit dan mempercepat pembentukan kalus
2.    Lengan di fiksasi pada tubuh anak dalam posisi abduksi 60o dan fleksi pergelangan siku 90o
3.    Umumnya dalam waktu 7-10 hari rasa sakit telah berkurang dan pembentukan kalus sudah terjadi.

F.       KOMPLIKASI
Timbul penekanan pleksus brakhialis dan pembuluh darah subklavia yaitu pembuluh darah yang berada diantara klavikula dan iga pertama.

G.      MACAM-MACAM
Klasifikasi patah tulang secara umum adalah :
1.    Fraktur lengkap
Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi lain.
2.    Fraktur tidak lengkap
Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai korteks (masih ada korteks yang utuh).
Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia luar, meliputi:
1.    Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak menonjol malalui kulit.
2.    Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi infeksi.
Lokasi patah tulang pada klavikula diklasifikasikan menurut Dr. FL Allman tahun 1967 dan dimodifikasi oleh Neer pada tahun 1968, yang membagi patah tulang klavikula menjadi 3 kelompok, yaitu :
1.         Kelompok 1: patah tulang pada sepertiga tengah tulang klavikula (insidensi kejadian 75-80%).
- Pada daerah ini tulang lemah dan tipis. 
- Umumnya terjadi pada pasien yang muda.
2.         Kelompok 2: patah tulang klavikula pada sepertiga distal (15-25%).
Terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan lokasi ligament coracoclavicular yakni (yakni, conoid dan trapezoid).
- Tipe 1. Patah tulang secara umum pada daerah distal tanpa adanya perpindahan tulang maupun ganguan ligament coracoclevicular.
- Tipe 2 A. Fraktur tidak stabil dan terjadi perpindahan tulang, dan ligament coracoclavicular masih melekat pada fragmen.
- Tipe 2 B. Terjadi ganguan ligament. Salah satunya terkoyak ataupun kedua-duanya.
- Tipe 3. Patah tulang yang pada bagian distal clavikula yang melibatkan AC joint.
- Tipe 4. Ligament tetap utuk melekat pata perioteum, sedangkan fragmen proksimal berpindah keatas.
- Tipe 5. Patah tulang kalvikula terpecah menjadi beberapa fragmen.
3.         Kelompok 3: patah tulang klavikula pada sepertiga proksimal (5%)
Pada kejadian ini biasanya berhubungan dengan cidera neurovaskuler.






ASUHAN KEBIDANAN PADA NEONATUS DENGAN
FRAKTUR CLAVIKULA

A.      PENGKAJIAN
1.    Data subyektif
Fraktur klavikula merupakan trauna lahir yang terjadi selama proses persalinan yang insidennya adalah 2-7 per 1000 kelahiran hidup. Bayi akan mengalami salah satu keadaan sebagai berikut :
a.    Gerakan abnormal/ posisi asimetris dengan lengan /tungkai
b.    Bengkak pada daerah tulang yang terkena
c.    Menangis apabila lengan, kaki atau bahu di gerakkan
d.   Terdapat perubahan bentuk atau deformitas (Wahab, 2000: 581)

2.    Data obyektif
a.    Pemeriksaan Fisik : Hilangnya fungsi anggota gerak dan persendian yang terdekat ( paralisis ), reflek moro negatif pada sisi yang terkena, bayi secara khas tidak menggerakkan lengan secara bebas, pada palpasi teraba ketidakteraturan tulang dan krepitasi. (Wahab, 2000: 581)
b.    Pemeriksaan diagnostic :  foto sinar X dari ekstremitas yang sakit atau lokasi fraktur. (Wahab, 2000: 581)
Diagnosis pasti dengan jalan melakukan palpasi untuk menemukan letak fraktur dan melakukan foto rontgen (Manuaba, 1998: 321).

B.       DIAGNOSA MASALAH
Bayi dengan masalah fraktur clavikula

C.      PERENCANAAN
1.    Pemasangan balutan klavikula berbentuk angka delapan.
R/ Bentuk ini akan mengekstensikan bahu dan meminimalkan besarnya tumpang tindih fragmen fraktur.


2.    Imobilisasi bayi dan informasikan keluarga atau orang tua untuk tidak sering mengangkat bayi teutama ekstrmitas atas.
R/ Untuk mencegah komplikasi
3.    Bayi tetap di berikan ASI yang dapat di lakukan dengan berbaring.
R/ Pemberian nutrisi harus tetap diberikan sehingga pertumbuhan bayi tetap terjaga, posisi berbaring dapat mengurangi mobilisasi pada bayi sehingga penyembuhan semakin cepat.

D.      INTERVENSI
1.    Memasang balutan klavikula berbentuk angka delapan.
2.    Memberikan ASI  pada bayi dengan posisi berbaring.
3.    Melakukan imobilisasi bayi dan informasikan keluarga atau orang tua untuk tidak sering mengangkat bayi teutama ekstrmitas atas.



TRAUMA PLEKSUS BRAKIALIS

A.    PENGERTIAN
Fleksus brakialis adalah Sebuah jaringan saraf tulang belakang yang berasal dari belakang leher, meluas melalui aksila (ketiak), dan menimbulkan saraf untuk ekstremitas atas. Pleksus brakialis dibentuk oleh penyatuan bagian dari kelima melalui saraf servikal kedelapan dan saraf dada pertama, yang semuanya berasal dari sumsum tulang belakang.  Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan bawah, atas dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan terbatas, atau bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi kapan saja, banyak cedera pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi dampak selama proses persalinan, menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau robek.

B.     ETIOLOGI
Trauma lahir pada pleksus brakialis dapat dijumpai pada persalinan yang mengalami kesukaran dalam melahirkan kepala atau bahu. Pada kelahiran preaentasi verteks yang mengalami kesukaran melahirkan bahu, dapat terjadi penarikan balik cukup keras ke lateral yang berakibat terjadinya trauma di pleksus brakialis.
Trauma lahir ini dapat pula terjadi pada kelahiran letak sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.

C.    PENATALAKSANAAN
1.    Bedah
Regangan dan memar pada pleksus brakialis diamati selama 4 bulan, bila tidak ada perbaikan, pleksus harus dieksplor. Nerve transfer (neurotization) atau tendon transfer diperlukan bila perbaikan saraf gagal.


a.    Pembedahan Primer
Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki injury pada plexus serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung berat ringan lesi.
1)   Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf.
2)   Neuroma excision : Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali dengan teknik end-to-end atau nerve grafts. 
3)   Nerve grafting: Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin dilakukan tarikan. Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan medial antebrachial cutaneous, dan cabang terminal sensoris pada n interosseus posterior.
4)    Intraplexual neurotisation : menggunakan bagian dari root yang masih melekat pada spinal cord sebagai donor untuk saraf yang avulsi.
b.    Pembedahan Sekunder
Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini tergantung saraf yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled muscle transfers, free muscle transfers, joint fusions and rotational, wedge or sliding osteotomies.
2.    Rehabilitasi pasca trauma pleksus bronkialis
a.    Paska operasi Nerve repair dan graft.
Setelah pembedahan immobilisasi bahu dilakukan selama 3-4 minggu. Terapi rehabilitasi dilakukan setelah 4 minggu paska operasi dengan gerakan pasif pada semua sendi anggota gerak atas untuk mempertahankan luas gerak sendi. Stimulasi elektrik diberikan pada minggu ketiga sampai ada perbaikan motorik. Pasien secara terus menerus diobservasi dan apabila terdapat tanda-tanda perbaikan motorik, latihan aktif bisa segera dimulai. Latihan biofeedback bermanfaat bagi pasien agar otot-otot yang mengalami reinnervasi bisa mempunyai kontrol yang lebih baik.


b.    Paska operasi free muscle transfer
Setelah transfer otot, ekstremitas atas diimobilisasi dengan bahu abduksi 30, fleksi 60 dan rotasi internal, siku fleksi 100. Pergelangan tangan posisi neutral, jari-jari dalam posisi fleksi atau ekstensi tergantung jenis rekonstruksinya. Dilakukan juga latihan gerak sendi gentle pasif pada sendi bahu, siku dan semua jari-jari, kecuali pada pergelangan tangan. Enam minggu paska operasi selama menjaga regangan berlebihan dari jahitan otot dan tendon, dilakukan ekstensi pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif ekstensi siku. Sembilan minggu paska operasi, ortesa airbag dilepas dan ortesa elbow sling dipakai untuk mencegah subluksasi bahu.
c.    Setelah Reinervasi
3-8 bulan paska operasi Teknik elektromiografi feedback di mulai untuk melatih otot yang ditransfer untuk menggerakkan siku dan jari dimana pasien biasanya kesulitan mengkontraksikan ototnya secara efektif. 
Pada alat biofeedback terdapat level nilai ambang yang dapat diatur oleh terapis atau pasien sendiri. Saat otot berkontraksi pada level ini, suatu nada berbunyi, layar osciloskop akan merekam respons ini. Level ini dapat diatur sesuai tujuan yang akan dicapai.
1)   Terapi Okupasi
Terapi okupasi terutama diperlukan untuk :
a)    Memelihara luas gerak sendi bahu, membuat ortesa yg tepat untuk membantu fungsi tangan, siku dan lengan, mengontrol edema defisit sensoris.
b)   Melatih kemampuan untuk menulis, mengetik, komunikasi.
c)    Menggunakan teknik-teknik untuk aktivitas sehari-hari, termasuk teknik menggunakan satu lengan, menggunakan peralatan bantu serta latihan penguatan dengan mandiri.
2)   Terapi Rekreasi
Terapi ini sebagai strategi dan aktivitas kompensasi sehingga dapat menggantikan berkurang dan hilangnya fungsi ekstremitas.
D.    PENGOBATAN
Pengobatan tergantung pada lokasi dan jenis cedera pada pleksus brakialis dan mungkin termasuk terapi okupasi dan fisik dan, dalam beberapa kasus, pembedahan. Beberapa cedera pleksus brakialis menyembuhkan sendiri. Anak-anak dapat puih atau sembuh dengan 3 sampai 4 bulan.  
Prognosis juga tergantung pada lokasi dan jenis cedera pleksus brakialis menentukan prognosis. Untuk luka avulsion dan pecah tidak ada potensi untuk pemulihan kecuali rekoneksi bedah dilakukan pada waktu yang tepat. Untuk cedera neuroma dan neurapraxia potensi untuk pemulihan bervariasi. Kebanyakan pasien dengan cedera neurapraxia sembuh secara spontan dengan kembali 90-100% fungsi.

E.     JENIS
1.    Paresis/ paralysis Duchene-Erb
Trauma lahir Duchene –Erb terjadi sebagai akibat kerusakan serabut saraf C.5-C.6 dan merupakan Paresis/ paralysis yang tersering dijumpai dalam gugusan pleksus brakialis. Reflek bisep dan radial negative, reflex moro asimetris, tetapi reflex pegang tetap positif. Pada waktu dilakukan abduksi pasif, terlihat lengan akan jatuh lemah disamping badan dengan yang khas.
Komplikasi pada keadaan ini, secara klinis disamping gejala Erb akan terlihhat pula adanya sindrom gangguan nafas.
Penanganan terhadap trauma pleksus brakialis ditujukan untuk mempercepat penyembuhan serabut saraf yang rusak dan mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi lain seperti kontraktur otot. Upaya ini dilakukan antara lain dengan jalan imobilisasi pada posisi tertentu selama 1-2 minggu yang kemudian diikuti program latihan.
Pada trauma Erb, imobilisasi dilakukan dengan posisi karakteristik kelumpuhan Erb. Lengan yang sakit difiksasi dalam posisi abduksi 90ยบ disertai eksorotasi pada sendi bahu, fleksi 90 pada sendi siku, supinasi penuh lengan bawah, disertai ekstensi telapak tangan. Fiksasi dapat dilakukan secara sederhana dengan mengikat lengan pada kasur tempat tidur.
Pada trauma yang ringan, yang hanya berupa edema atau perdarahan ringan, pada pangkal saraf, fiksasi hanya dilakukan beberapa hari atau 1-2 minggu untuk memberi kesempatan penyembuhan yang kemudian diikuti program mobilisasi atau latihan. 
2.    Paresis/ paralysis Klumpke
Trauma lahir Klumpke terjadi sebagai akibat kerusakan pada saraf C.7- Th 1. Yang kemudian menimbulkan gangguan fungsi otot telapak tangan bagian dalam. Secara klinis terlihat reflex pegang menjadi negative, telapak tangan terkulai lemah, sedangkan reflex bisep dan radialis tetap posittif. Jika serabut simpatis terkena, maka akan terlihat syndrome Horner, yang ditandai anatara lainoleh adanya gejala ptosis, miosis, enoftalmus, dan hilangnya keringat di daerah kepala dan muka homolateral dari trauma lahir tersebut.
Penatalaksanaan trauma lahir klumpke berupa imobilisasi dengan memasang bidai pada telapak tangan dan sendi tangan yang sakit pada posisi netral yang selanjutnya diusahakan program latihan.   
3.    Paresis/ paralysis otot lengan bagian dalam
Pada jenis trauma lahir ini, kerusakan yang terjadi pada serabut pleksus brakialis lebih luas dan dalam, yang berakibat fungsi otot ekstermitas atas akan hilang sama sekali. Ekstermitas akan terkulai lemah, sedangkan semua refles otot menghilang. Pada keadaan ini sering dijumpai adanya deficit sensoris pada lengan. Pada kasus trauma lahir pleksus brakialis, pemeriksaan radiologic dada dan lengan atas dapat dianjurkan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya fraktur klavikula atau fraktur lengan atas, disamping untuk mencari komplikasi lain seperti kelumpuhan otot diafragma. 
Prognosis trauma lahir pleksus brakialis tergantung dari berat ringannya trauma lahir tersebut. Pada trauma ringan, yang hanya berupa edema atau perdarahan kecil dan tidak terdapat kerusakan serabut saraf, maka gangguan fungsi lengannya hanya bersifat sementara. Fungsi otot akan kembali normal dalam beberapa hari setelah edema atau perdarahan lokal hilang. Pada trauma lahir yang lebih berat, yang menyebabkan rusaknya atau tercabutnya serabut saraf dan rusaknya selabut saraf, secara klinis akan dapat menimbulkan paralis yang menetap. Pada kasus yang demikian perlu dilakukan pemeriksaan neurologic. Usaha pengobatan fisioterapi atau tindakan operatif terhadap kerusakan berat serabut saraf ini, agaknya belum menunjukkan hasil yang memuaskan. 
4.    Paresis/ paralysis saraf frenikus
Trauma lahir saraf fremikus terjadi akibat kerusakan serabut saraf C.3, 4, 5 yang merupakan salah satu gugusan saraf dalam pleksus  brakialis. Umumnya paresis/ paralysis saraf frenikus berhubungan erat dengan adanya paresis/ paralys Duchene- Erb. Serabut saraf renikus berfungsi menginervasi otot diafragma, sehingga pada gangguan saraf ini akan timbul pula gangguan fungsi otot diafragma. Secara klinis, gejala yang terlihat adalah syndrome gawat nafas, sianosis, dan takipnea. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan radiologic, yang menunjukkan adanya elevasi diafragma yang sakit, serta pergeseran mediastinum dan jantung kearah yang berlawanan. Pada pemeriksaan fluoroskopi, disamping terlihat diafragma yang sakit lebih tinggi dari yang sehat, terlihat pula gerakan paradoksismal atau seesaw movements pada kedua hemidiafragma.
Gambaran yang akan tampak adalah waktu inspirasi diafragma yang sehat bergerak kebawah, sedangkan yang sakit bergerak ke atas ; gambaran sebaliknya tampak pada waktu ekspirasi. Pada pemeriksaan fluoroskopi terlihat pula mediastinum bergeser ke posisi normal pada waktu inspirasi.
Pengobatan ditujukan untuk memperbaiki keadaan umum bayi. Bayi diletakkan miring ke bagian yang sakit, disamping diberikan therapy oksigen. Pemberian cairan intra vena pada hari hari pertama dapat dipertimbangkan bila keadaan bayi kurang baik atau dikhawatirkan terjadinya asidosis. Jika keadaan umum telah membaik, pemberian minum per-oral dapat dipertimbangkan. Pada kasus demikian perlu dilakukan pengawasan cermat terhadap kemungkinan terjadinya pneumonia hipostatik akibat gangguan fungsi diafragma pada bagian yang sakit. Pemberian antibiotic dapat dianjurkan bila gangguan pernafasan terlihat berat atau kelumpuhan saraf frenikus bersifat bilateral, maka dapat dipertimbangkan penggunaan ventilator. Penggunaan pacu elektrik diafragma dapat dianjurkan bila sarana memungkinkan serta kontraksi otot diafragma cukup baik. Tindakan bedah dapat dilakukan bila sesak nafas sangat berat atau sesak nafas bertambah berat walaupun telah dilakukan pengobatan konservatif yang memadai. Walaupun bayi tidak menunjukkan gejala sesak berat tetapi pada pemeriksaan radiologic, 3-4 bulan kemudian fungsi hemidiafragma yang sakit tidak menunjukkan kemajuan yang berarti, maka perlu dipikirkan terhadap kemungkinan tindakan bedah.


ASUHAN KEBIDANAN PADA NEONATUS DENGAN
TRAUMA PLEKSUS BRAKIALIS

A.      PENGKAJIAN
a.    Data Subjektif
·      Lengan lemas dan lunglai
·      Sesak nafas
·      Bayi tidak dapat melakukan gerakan meraih sesuatu
b.    Data Objektif
·      Refleks biseps dan radial negatif
·      Refleks moro asimetris

B.       PENENTUAN MASALAH
Trauma lahir pleksus brakialis dengan jenis paresis/paralysis Duchene-Erb.

C.       INTERVENSI
1.    Lakukan imobilisasi pada posisi tertentu, yaitu abduksi 90o disertai eksorotasi pada sendi bahu, fleksi 90opada sendi siku, supinasi penuh lengan bawah, disertai ekstensi telapak tangan.
2.    Lakukan fiksasi secara sederhana dengan mengikat lengan pada kasur tempat tidur.








DAFTAR PUSTAKA

Mangunatmadja I., Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Bayi Risiko Tinggi, dalam Temu Muka dan Konsultasi : Deteksi dan Stimulasi Dini Bayi Risiko Tinggi, Jakarta, 2000.

Maridin F., Kematian Perinatal di RSUP Sarjito th 1991-1995 & Analisis Faktor

Resiko, Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UGM, Yogyakarta,1996 : 2-4
Wiknjosastro H., Perlukaan persalinan, dalam Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1997 : 716-722.

Nygaard D., Traumatic Birth Syndrom, http://www.yahoo.com., 2001

Plasker E., Traumatic Birth Syndrom, http://www.google.com., 2002

Markum, A.H. Ilmu Kesehatan Anak. Balai penerbit FKUI. Jakarta. 1996

Monheit, Silverman, Fodera, Birth Injury Birth Trauma, http://www.google.com., 2002.